Grieving pada Keluarga Korban Konflik
Kematian adalah salah satu proses kehidupan yang akan dialami oleh setiap manusia. Kita seringkali mengartikannya sebagai akhir dari kehidupan. Hal inilah yang membuat istilah kematian di pandang sebagai hal yang negatif, sebaliknya kematian juga dapat diartikan sebagai bentuk untuk bebas dari kesengsaraan yang terjadi di dunia (Santrock, 2015). Perbedaan pandangan tersebut yang pada akhirnya membentuk pengertian yang berbeda-beda mengenai kematian pada setiap individu.
Saat ini angka kematian kasar di dunia mencapai 1,5 hingga 15 kematian per 1000 populasi setiap tahunnya, meskipun demikian jumlah ini menurun setiap tahunnya akibat tingkat harapan hidup masyarakat di dunia yang meningkat. Di Indonesia, angka kematian kasar diperkirakan mencapai 6,5 kematian per 1000 populasi setiap tahunnya. Dengan demikian, di Indonesia setidaknya terjadi 6 hingga 7 kematian per 1000 populasi pada tahun 2017 yang menempatkan Indonesia berada pada posisi 145 dari 226 negara yang terdata (Central Intelligence Agency, 2017).
Terdapat berbagai faktor penyebab seseorang dapat meninggal, terdapat faktor internal yang berupa gangguan penyakit, maupun faktor eksternal yakni kecelakaan,
bencana alam maupun buatan, kemiskinan, pembunuhan, dan lain sebagainya. Dalam data yang diambil pada tahun 2004 oleh WHO, 31% laki-laki
berusia 15-59 tahun meninggal akibat cedera karena konflik. Menandakan konflik sebagai salah satu faktor kematian akibat cedera dengan
persentase yang paling tinggi dibandingkan kematian akibat cedera karena
kekerasan, kecelakaan, serta cedera yang disengaja maupun tidak disengaja.
Selain
kematian yang menjadi dampak permanen dari konflik, dampak yang ditimbulkan
oleh konflik pun cukup beragam mulai dari segi ekonomi, politik, kesehatan,
sosial, dan lainnya. Menurut Thompson (1993), konflik dapat memberikan perubahan
secara sistematis dalam pemerintahan suatu negara yang berkonflik. Tidak hanya itu, dampak lainnya yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat sebagai individu yang
mengalami konflik ialah cedera secara permanen, gangguan psikologis, hingga
kehilangan anggota keluarga secara mendadak. Meskipun
dalam hal ini individu bukanlah pihak pertama yang terlibat langsung dalam
konflik, namun dampak psikologis yang dihasilkan dapat memengaruhi seluruh
generasi dari individu yang mengalami konflik tersebut (Mannheim, 1952; Bobrow & Cutler,
1967; Spitzer, 1973 dalam Stein & Russett, 1980).
Salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan psikologis pada korban konflik antara lain adalah kehilangan anggota keluarga secara mendadak. Menurut Cherie Blair, istri mantan Perdana Menteri Inggris, setidaknya pada tahun 2010 terdapat 2 juta janda Afganistan dan sedikitnya 740.000 janda Irak yang kehilangan suaminya karena perang dan konflik yang belum berkesudahan hingga kini. Kondisi yang dialami para janda tersebut pun cukup memprihatinkan karena mayoritas tidak diterima oleh keluarganya (dalam Patnistik, 2010). Keadaan para janda yang memprihatinkan tersebut pun diperparah dengan kondisi psikologisnya terutama ketika pertama kali merasakan kehilangan pasangan hidupnya akibat konflik tersebut. Adapun kondisi psikologis yang dimaksud ialah grief.
Grief merupakan suatu kondisi psikologis yang berupa ketidakmampuan untuk menerima kematian dari seseorang yang dicintai. Ketidakmampuan untuk menerima inilah yang akhirnya menyebabkan perasaan sedih, cemas akibat perpisahan, kesendirian, putus asa, tidak percaya, dan mati rasa (Santrock, 2015). Kondisi ini umumnya terdiri dari beberapa dimensi yang diikuti dengan perubahan emosi yang cukup dratis. Oleh karena itu, apabila grief tidak dapat dilalui dengan baik kondisi ini merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan gangguan psikologis lainnya (Carr & others dalam Santrock, 2015). Menurut
Frye (2012), ditemukan bahwa
istri tentara tersebut yang saat ini menjadi seorang janda di usia yang cukup
muda cukup rentan mengalami stres akibat adanya perubahan yang dialami antara
sebelum dan sesudah kematian suaminya. Perubahan yang dirasakan antara lain
adalah sulitnya berproses dan beradaptasi tanpa kehadiran pasangannya serta
usia yang cukup muda membuat mereka belum mampu menerima statusnya sebagai
janda.
Ketidakmampuan diri mereka untuk menerima status janda di usia muda disebabkan oleh usia muda mereka yang cenderung masih memiliki mimpi di bidang pendidikan maupun pekerjaan, namun karena menikah mereka harus merelakan segalanya. Terjadinya kematian pasangan secara mendadak tersebut akhirnya membuat mereka merasa pengorbanannya selama ini menjadi sia-sia. Selain itu pula kurang matangnya emosi maupun mental pada mereka ketika peristiwa tersebut terjadi membuat mereka dipaksa untuk mengambil keputusan layaknya orang dewasa (Frye, 2012). Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya gejala proses grief yang berkepanjangan untuk mereka alami. Menurut Frye (2012), para partisipan yang sudah ditinggal oleh pasangannya selama beberapa tahun masih merasa adanya perasaan kehilangan, marah, dan sedih yang cukup mendalam apabila ditanya mengenai pasangannya. Meskipun demikian, proses grief yang berkepanjangan tersebut tidak dialami oleh setiap pasangan dari korban konflik. Hal ini disebabkan kembali lagi dari karakteristik individu tersebut dalam menyikapi proses grief ini (Conway, 1988). Individu yang tidak mengalami proses grief yang berkepanjangan umumnya menyatakan bahwa mereka dapat melalui proses grieving akibat dukungan sosial khususnya dari sesama keluarga korban konflik maupun keluarga baik dari pihak pasangan dan keluarganya sendiri (Frye, 2012).
Oleh
karena itu, untuk mencegah grievieng
yang berkepanjangan dibutuhkan dukungan orang–orang terdekat yang mampu
berempati terhadap situasi kehilangan tersebut. Dalam hal ini dukungan emosional dari orang-orang terdekat dapat membantu mengurangi perasaan negatif yang timbul dari proses grief atau yang dapat kita sebut sebagai bereavement support
groups.. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penelitian dari Menounos (2007) bahwa bereavement support groups dapat
membantu para individu yang kehilangan pasangannya dalam merekonstruksi
kehidupannya agar kembali normal dan juga mendorong secara bertahap
keterlibatan individu tersebut dalam menikmati waktu luangnya tanpa kehadiran
pasangan. Dengan demikian penting bagi korban konflik khususnya keluarga terdekat untuk saling menguatkan satu sama lain maupun mencari bantuan dari orang lain dalam menghadapi proses grief yang dialami.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. (2019). Angka kematian kasar (AKK). Diakses pada tanggal 3 April dari https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=81
Patnistik, E. (2010, June 25). Ada 245 juta janda di dunia. Kompas.com. Diakses pada tanggal 3 April 2018 dari https://nasional.kompas.com/read/2010/06/25/11085546/ada.245.juta.janda.di.dunia.
Evaluating war: Outcomes and consequences. In Gurr, T. R. (Ed.). Handbook of Political Conflict: Theory and Research (pp. 399–422). New York, NY: The Free Press.
(1993). The consequences of war. International Interactions, 19(1-2), 125-147. DOI: 10.1080/03050629308434822
World Health
Organization. (2004). Global burden of
disease 2004. Diakses pada tanggal 3 April 2018 dari https://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/GBD_report_2004update_part2.pdf
Komentar
Posting Komentar